Apa yang ada di angan kita ketika mendengar kata “teknologi”
? Mungkin Internet yang telah memperpendek jarak dan mempersingkat waktu. Mungkin
juga CRH3, kereta apung magnet yang bisa mengantar kita dari Yogyakarya ke
Surabaya dalam waktu 1 jam. Atau mungkin Panel Surya, Semikonduktor yang dapat
mengkonversi cahaya matahari menjadi listrik.
Tidak dipungkiri lagi bahwa abad ke-20 merupakan titik awal
dimulainya era teknologi. Teknologi yang awalnya digunakan untuk tujuan militer
hingga kini berkembang dan digunakan secara massal. Semua serba canggih. Jika
saja hayam wuruk bangkit dari kuburnya dan melihat semua kecanggihan ini, bukan
tidak mungkin dia akan kaget dan mati seketika J
Tetapi, tidak semua orang dapat menikmati
teknologi. Teknologi seakan hanya milik orang yang mampu secara ekonomi (
membeli panel surya ) atau mampu secara akal ( mengembangkan panel surya ). Ya,
kelompok user (pengguna) dan developer (pengembang) teknologi.
Penduduk miskin di Indonesia berada di angka 12 persen atau
terdapat 29,13 juta jiwa. Alih – alih menggunakan teknologi, listrikpun mereka
tak rasakan dan makanpun harus mereka perjuangkan. Bertolak belakang dengan 56
persen penduduk kaya yang sedang kebingunan membeli Iphone 4S atau Galaxy S2.
Tidak adil rasanya.
Sebagai contoh,
saya melihat dan merasakan sendiri bagaimana
susahnya mencari air bersih bagi warga di daerah gunung kidul, Yogyakarta.
Untuk berwudlhu saja kami harus menghemat. Disamping kontur wilayah berupa
batuan karst, listrik disana tidak cukup untuk memompa air yang jaraknya 2 km.
Mereka harus turun ke bawah untuk mengambil air. Belum lagi medan yang sulit.
Contoh lain saya temukan di desa Pangpajung, Modung
Kabupaten Bangkalan, Madura. Rata – rata mereka bermata pencaharian petani dan
peternak sapi. Listrik 450 Wattpun hanya mereka gunakan untuk penerangan dan menonton
televisi. Tak ada kulkas, tak ada pompa. Melihat kami memotret-pun mereka
terlihat asing dan penuh tanda tanya.
Bagi saya, kesenjangan antara penikmat dan rakyat miskin
dapat kita persempit dengan berlaku bijak terhadap teknologi. Bagi pengembang
teknologi, rumuslah sebuah teknologi tepat guna. Teknologi padat karya dan
berpusat pada rakyat.
Pernahkah mendengar kehebatan seorang tri mumpuni ? Pejuang
mikrohidro yang telah membangun 60 desa miskin dan terpencil. Bersama warga
binaannya ia berhasil memproduksi listrik dan menjualnya seharga Rp 290 /Kwh
atau setengah TDL tak bersubsidi di tahun 1999. Di bidang IT, tentu kita tidak
asing dengan nama Onno W Purbo. Dia adalah penemu teknologi jaringan nirkable
wajan bolic RT RW yang terkenal itu. Atau yang telah dilakukan kakak – kakak kamase
ugm ini. Mereka berhasil mengangkat air dengan tenaga surya untuk mengatasi
kekeringan di 4 desa Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Apa yang dilakukan oleh orang – orang diatas merupakan satu
tindakan bijak dalam berteknologi. User (pengguna) teknologi yang mayoritas
orang berduit alangkah bijaknya membantu secara materiil dan developer (
pengembang ) teknologi dengan bijaknya langsung berkontribusi terhadap
masyarakat untuk menerapkan teknologi tepat guna.
Ini adalah tantangan bagi saya dan mungkin semua teman –
teman calon engineer yang akan bergelut sebagai pengembang teknologi. Apalah guna
kita dapatkan nilai bagus dalam kalkulus, thermodinamika, elektromagnetika,
Fisika atom, dan semua mata kuliah yang “gila” itu tanpa ada nilai kebermanfaatan.
Rakyat disana tidak peduli seberapa bagus dan tinggi pendidikan kita. Yang
mereka tau dan inginkan adalah kesejahteraan.